Duh, suka syedih aku tu saat menghadapi kenyataan bahwa di zaman ini masih ada yang menganggap cerpen dan novel itu hanya tulisan angan-angan semata. Sebagai penikmat fiksi, jiwaku meronta-ronta ingin protes. Tapi untuk menjelaskan ke orang yang awam akan dunia fiksi butuh waktu dan pilihan kata yang tepat agar sampai ke hatinya dan paham di logikanya.
Aku tau betul bahwa memaksakan orang untuk menyukai fiksi itu mustahil. Bagaimana pun, selera tiap orang itu berbeda-beda sekalipun dengan saudara kandung sendiri. Termasuk aku yang juga tidak bisa dipaksakan untuk suka drama oppa, sebab hatiku telah terpaut di bollywood sejak tahun 2000-an. #Eh, ngomong apa sih.. Hehe…
Well, kembali ke fiksi. Memang berdasarkan PUEBI, pengertian fiksi adalah cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan. Sehingga yang tergolong dalam tulisan fiksi ini ialah cerpen, cerbung, novel yang merupakan bagian dari prosa baru, serta hikayat, kisah dan dongeng yang termasuk kepada bagian prosa lama.
Dimana tulisan-tulisan ini dibuat dan dikarang sendiri oleh penulis, tokoh yang ada dalam cerita, watak dan karakternya, latar waktu dan tempatnya, hingga kemasan ceritanya. Namun yang perlu diingat adalah bahwa tulisan-tulisan fiksi sebenarnya tidak sepenuhnya khayalan belaka, terlebih pada fiksi yang merupakan prosa baru.
Kenyataannya Fiksi Itu…..
1. Terinspirasi Dari Kisah Nyata
Yups, penulis-penulis fiksi idenya bertebaran di mana-mana. Bahkan saat ia duduk santai di teras rumah pun, lalu ada sebuah bus lewat,bisa jadi ide menulis baginya. Makanya hati-hati dengan penulis. Apa pun yang diamatinya, apalagi sampai menjadi bagian dari hidup dan masa lalunya, maka bersiaplah untuk abadi dalam penanya.
Seperti yang kita bahas di awal tadi, bahwa fiksi adalah cerita rekaan. Tetapi sebenarnya cerita-cerita fiksi lebih banyak terinspirasi dari kisah nyata dan kehidupan sehari-hari yang dialami masyarakat. Seperti saat aku menulis sebuah cerpen di salah satu surat kabar Medan tahun 2013 silam, itu terinspirasi dari kisah yang benar-benar dialami kakak kelasku dulu. Kalau begitu, di mana letak fiksinya? Kan kisah nyata berarti?
Fiksinya terletak pada kemasan cerita dong. Mulai dari nama tokoh, alur cerita, waktu dan tempatnya, itu semua penulis yang menentukan. Tetapi jangan anggap remeh perkara menentukan nama tokoh dan setting cerita ini. Itu penulis mati-matian memikirkan nama apa yang cocok untuk setiap karakter tokohnya agak berterima di hati pembaca, pun sesuai dengan karakter yang diperankan. Tidak mengada-ada. Misal, untuk tokoh yang merupakan seorang General Manager sebuah perusahaan yang gagah, tampan, berwibawa, alumni universitas luar negeri, diberi nama Ujang. Cocok?
Atau seorang bapak setengah baya yang kesehariannya mencangkul tanah, berkebun, memotong rumput, serta hidup dalam kesederhanaan, diberi nama Pak Leonardo. Masuk? Begitulah. Sefiksi-fiksinya sebuah cerita, ia tetap harus masuk pada logika. Demikian pula saat menentukan plot dan alur ceritanya, meski ditulis dari kisah nyata, tetapi ia akan dibumbui dengan imajinasi penulis. Sehingg tulisan itu benar-benar sampai pesan dan maknanya ke hati pembaca.
2. Riset Sebelum Menulis
Riset apaan? Emang mau nulis skripsi?
Nah, itulah yang perlu engkau ketahui kakak. Tulisan fiksi, terlebih untuk membuat sebuah novel juga butuh riset sekian lama. Sebab terbangunnya kekuatan cerita ketika yang disajikan benar-benar jelas informasinya. Pun novel akan berterima di hati pembaca ketika penulis tidak tanggung-tanggung memaparkan cerita.
Misal, ketika penulis ingin membuat novel bertema arsitektur. Maka segala informasi tentang dunia arsitektur dan seluk beluknya harus dijelaskan serunut mungkin di sana. Atau mau mengulas kisah seorang pendaki? Maka penulis harus paham bagaimana cara mendaki yang baik, apa saja yang perlu disiapkan untuk mendaki, seperti apa teknik menghindari bahaya ditengah pendakian, dll. Bukankah untuk ini semua penulis harus belajar dulu? Bahkan tak jarang mencoba menjalani sendiri dulu untuk bisa merasakan bagaimana serunya mendaki, seperti apa kepuasan batin yang didapat saat tiba di puncak, dll.
Ketahuilah bahwa latar belakang penulis dengan cerita yang ditulisnya akan sangat menetukan trust pembaca pada karya yang dilahirkannya. Makanya tak jarang penulis menyajikan tulisan sesuai hobi dan bidang yang digelutinya. Karena akan lebih mudah mengisahkannya dalam tulisan.
Contoh lain, setting tempat. Seseorang yang sudah pernah ke Italia akan lebih mudah menggambarkan kota Roma dalam tulisan ketimbang orang yang hanya mencari informasi tentang letak Roma dan hiruk pikuknya hanya dari mesin pencari semata. Sehingga ketika membaca novel yang disajikannya, pembaca seolah-olah sedang benar-benar berada di Roma terbawa suasana ke dalamnya.
Jadi stop mengatakan bahwa tulisan fiksi itu hanya bualan penulis saja. Memberi nama tempat, menentukan karakter tokoh dan mengemas cerita seenaknya saja. Ada perjuangan yang berdarah-darah untuk bisa menciptakan sebuah novel yang bermanfaat. Bukan sekedar larut dalam buaian romantisme belaka.
3. Meringankan yang berat
Ya, ada tema-tema yang terkadang berat tetapi jadi ringan di tangan penulis yang mampu menyajikannya dengan apik dan santai. Contohnya aku yang kurang suka membaca biography, tetapi mampu menikmati sejarah, perjuangan dan kepribadian Syeikh Badiuzzaman Said Nursi lewat novel Bumi Cinta yang ditulis Kang Abik. Begitulah, sejatinya tulisan fiksi itu adalah hiburan. Maka menyajikannya pun harus dengan bahasa yang naratif, santai, ringan, namun jelas makna dan maksudnya. Jadi bahasa yang terlalu hiperbolik dalam sebuah cerita pun juga kurang baik. Karena akan menjadi susah memahami maksud dan tujuannya.
4. Informatif dan edukatif
Diakui atau tidak, nyatanya novel-novel yang bergizi mampu merubah prilaku pembacanya, khususnya kalangan remaja. Orang tua bisa menjadikan buku-buku fiksi sebagai sarana mendidik anaknya agar tidak terjerumus ke dalam jurang nista pergaulan. Sebab biasanya para remaja sangat mudah tersentuh hatinya setelah membaca bacaan yang sesuai untuknya. Tinggal orang tua harus mampu memilah dan memilih novel mana yang cocok untuk dibaca putra putrinya. Dihadiahkan saat ulang tahun bisa banget lho, bun..
Kalau dulu, novel itu konotasinya sudah negatif. Sebab kontennya hanya perkara syahwat melulu. Tapi sekarang novel-novel bergizi sudah bertebaran, di mana dalam kisah sebuah novel banyak memuat ilmu pengetahuan baru, norma-norma hidup yang baik, serta tantangan-tantangan yang layak ditaklukkan. Sebut saja aku yang tau apa itu penyakit APS juga dari sebuah novel, bagaimana sindikat-sindikat mafia luar negeri bekerja juga kuketahui dari sebuah novel.
Jadi gitu ya gais, semoga tidak ada lagi yang menganggap novel itu hanya bacaan khayalan saja. Mungkin memang masih ada, tetapi kita bisa memilih mana tulisan-tulisan fiksi yang syarat ilmu dan mana yang tidak. Dan tentu saja untuk genre bacaan bebas dong ya mau pilih bacaan bergenre apa saja. Mau genre religi, detektif, konspirasi, atau roman, semua tergantung selera dan hobi. Yang paling penting kita bisa mengambil hikmah yang baik dari sebuah tulisan.