Di masa pandemi terjadi perubahan cara pandang dan kesadaran akan pentingnya produk asuransi. Banyak yang kemudian menyadari pentingnya asuransi sebagai bagian dari upaya perlindungan atau proteksi diri. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, tingginya minat berasuransi menyebabkan “produk asuransi syariah” menjadi banyak dicari.
Lantas apa saja perbedaan antara produk asuransi syariah dan konvensional? Berikut ulasannya…
Pengertian Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Asuransi syariah dan asuransi konvensional memiliki perbedaan definisi. Berdasar fatwa DSN MUI 21/DSN-MUI/X/2001 asuransi syariah adalah usaha yang berdasarkan pada asas saling menolong (ta’awun), saling melindungi (takafuli), dan berbagi risiko (sharing risk) antar peserta asuransi melalui investasi dalam bentuk aset (tabarru’).
Aset atau dana tabarru’ ini nantinya dikelola oleh perusahaan asuransi sebagai operator, dengan imbal hasil atau pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu dengan menggunakan akad yang sesuai dengan syariah.
Dalam praktiknya, dana tabbaru’ yang diinvestasikan oleh para peserta asuransi syariah digunakan untuk 4 (empat) hal yaitu; Ujrah (fee untuk pengelola), santunan asuransi (klaim risiko), membayar reasuransi, dan surplus underwriting.
Dalam asuransi syariah setiap peserta berkontribusi untuk menolong peserta lain dalam kebaikan dan memberi rasa aman ketika terjadi risiko di antara peserta. Konsep sharing risk ini dapat memperkuat rasa kepedulian, persaudaraan, dan gotong royong antar peserta asuransi. Sedangkan asuransi konvensional merupakan produk asuransi dengan prinsip transfer risiko.
Dalam hal ini nasabah dikenakan premi untuk memperoleh imbalan berupa proteksi atau perlindungan atas risiko yang mungkin terjadi yang berkaitan dengan kesehatan, barang, atau jiwa tergantung produk asuransi yang dibeli.
Perbedaan definisi tersebut tentu menyebabkan perbedaan dari banyak sisi, seperti :
1. Akad / Perjanjian
Pada asuransi syariah, akad yang digunakan sebagai dasar adalah akad tolong-menolong (akad takaful). Sehingga bila terjadi masalah atau musibah pada salah satu peserta, maka peserta lain akan membantu melalui dana tabarru’ yang dikelola oleh perusahaan asuransi.
Sedangkan pada asuransi konvensional, akad yang digunakan adalah akad jual beli. Dalam hal ini peserta yang membeli asuransi akan ditanggung risiko ekonomisnya oleh perusahaan asuransi.
2. Kepemilikan Dana dan Pengelolaan
Pada asuransi syariah, dana dimiliki oleh semua peserta asuransi. Perusahaan hanya berperan sebagai pengelola dana tanpa mempunyai hak memiliki. Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi secara maksimal untuk keuntungan para peserta asuransi dengan sistem yang transparan.
Dalam pengelolaannya, dana asuransi syariah dapat melibatkan objek-objek yang halal dan tidak boleh mengandung unsur ketidakjelasan (syubhat) baik secara hukum, sifat, maupun faktanya. Instrumen investasi yang dipilih harus sesuai dengan syariat Islam.
Sedangkan pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari pembayaran premi para peserta akan dikelola sesuai perjanjian. Misalnya diinvestasikan ke usaha yang paling menguntungkan untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
3. Pengawasan Dana
Dalam pengelolaan dana asuransi, terdapat perbedaan dalam pengawasan. Asuransi syariah melibatkan pihak ketiga dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertanggung jawab terhadap MUI.
DPS ini bertanggung jawab untuk mengawasi seluruh proses pengelolaan dan transaksi dalam perusahaan tetap memegang teguh prinsip syariah. Sedangkan dalam asuransi konvensional tidak ada badan khusus yang mengawasi transaksi perusahaan. Namun semua perusahaan asuransi resmi harus terdaftar pada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan mengikuti ketentuan OJK.
4. Dana Hangus
Dalam asuransi syariah tidak dikenal dana hangus. Dana hangus hanya dikenal di asuransi konvensional. Dana hangus terjadi ketika tidak ada klaim selama periode asuransi yang disepakati. Seperti berakhirnya masa polis, tidak sanggup membayar premi berjalan, dan lain-lain.
Pada asuransi syariah tidak dana hangus ini. Dana tetap bisa diambil meskipun besarannya berkurang, karena ada yanh digunakan sebagai dana tabaru. Jika seseorang tidak sanggup melanjutkan membayar asuransi syariah, maka dana tetap dapat ditarik sepenuhnya sesuai yang sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
5. Surplus Underwriting
Istilah ini hanya dikenal di asuransi syariah. Yaitu dana yang diberikan kepada peserta asuransi jika terdapat kelebihan dana dari pengelolaan dana tabarru’ setelah dikurangi pembayaran santunan, risiko underwritting, reasuransi, dan cadangan teknis, yang dikalkulasi dalam satu periode tertentu.
Pembagian surplus underwritting ini sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama.
Asuransi konvensional tidak mengenal pembagian keuntungan ini. Tetapi pada produk asuransi tertentu ada pemberian kompensasi kepada nasabah/tertanggung jika tidak pernah melakukan klaim dalam jangka waktu tertentu (no-claim bonus).
6. Wakaf & Zakat
Pada asuransi syariah dikenal istilah wakaf manfaat dan zakat. Dalam hal ini nasabah dapat mewakafkan manfaat asuransi berupa santunan asuransi meninggal dunia dan nilai tunai polis kepada pihak yang ditunjuk.
Zakat adalah nilai tertentu yang wajib diberikan kepada golongan yang berhak menerima. Pada asuransi syariah zakat diambil dari besarnya keuntungan perusahaan. Dalam asuransi konvensional, tidak dikenal istilah wakaf dan zakat.
Nah, itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dan asuransi konvensional. Semoga informasi ini bermanfaat ya…